Masa Kecil
Didik
Nini Thowok terlahir dengan nama Kwee Tjoen Lian. Karena sakit-sakitan orang
tuanya mengubah namanya menjadi Kwee Tjoen An. Ayah Didik, Kwee Yoe Tiang,
merupakan seorang peranakan Tionghoa yang "terdampar" di Temanggung
sedangkan ibunya, Suminah, adalah wanita Jawa
asli, asal Desa Citayem, Tjilatjap. Didik adalah sulung dari lima bersaudara (keempat
adiknya perempuan). Setelah G30S/PKI, keturunan Tionghoa diwajibkan mengganti
nama Tionghoa mereka menjadi nama pribumi sehingga nama Kwee Tjoen An pun
menjadi Didik Hadiprayitno.
Kehidupan
masa kecil Didik penuh keprihatinan. Ayahnya bisnis jual beli kulit
kambing dan sapi. Ibunya membuka kios
di Pasar Kayu. Hidup bersama mereka adalah kakek dan nenek Didik. Maka keluarga
Didik harus hidup pas-pasan. Sebagai anak dan cucu pertama, Didik selalu
dimanja oleh seluruh anggota keluarga. Selain itu, Didik tidak nakal seperti
kebanyakan anak laki-laki seumurannya. Ia cenderung seperti anak perempuan dan
menyukai permainan mereka, seperti pasar-pasaran (berjualan),
masak-masakan, dan ibu-ibuan. Saat kecil pun Didik diajari oleh neneknya
ketrampilan perempuan seperti menjahit, menisik, menyulam, dan merenda.
Belajar Menari
Saat
masih sekolah, Didik suka menggambar dan menyanyi (suaranya bagus terutama saat
menyanyi tembang Jawa). Namun setelah mengenal dunia tari akibat sering menonton
pertunjukan wayang orang yang berupa sendratari, Didik pun bertekad untuk
mempelajari tari. Sayangnya perekonomian keluarga yang pas-pasan menyulitkan
langkah Didik untuk belajar.
Akhirnya
Didik meminta teman sekelasnya Sumiasih, yang pandai menari dan nembang, untuk
mengajarinya tari-tarian wayang orang. Menari bukan hal yang sulit dilakukan,
karena selain tubuhnya yang lentur, Didik juga berbakat. Guru Didik berikutnya
adalah Ibu Sumiyati yang mengajarinya dan ketiga adiknya, tari Jawa klasik gaya
Surakarta. Didik membayar guru ini dari hasil menyewakan komik
warisan kakeknya. Didik juga belajar tarian Bali klasik dari seorang tukang
cukur rambut.
Didik
berguru pada A. M. Sudiharjo, yang pandai menari Jawa Klasik juga sering
menciptakan tari kreasi baru. Didik ikut kursus menari di Kantor Pembinaan
Kebudayaan Kabupaten Temanggung. Salah satu gurunya adalah Prapto Prasojo, yang
juga mengajar di padepokan tari milik Bagong Kussudiarjo di Yogyakarta.
Koreografi tari ciptaan Didik yang pertama dibuat pada
pertengahan 1971. Tarian itu diberi judul “Tari Persembahan”, yang
merupakan gabungan gerak tari Bali dan Jawa. Didik tampil
pertama kali sebagai penari wanita; berkebaya
dan bersanggul saat acara
kelulusan SMA tahun 1972. Saat itu, didik juga mempersembahakan
tari ciptaannya sendiri dengan sangat luwes.
Kuliah
Setelah
lulus SMA, impian Didik untuk melanjutkan kuliah di ASTI Yogyakarta
terbentur pada biaya. Didik pun bekerja, tak jauh dari kesukaannya, menari.
Didik menjadi pegawai honorer di Kabin Kebudayaan Kabupaten Temanggung dengan
tugas mengajar tari di beberapa sekolah (SD dan SMP), serta memberi les privat
menari untuk anak-anak di sekitar Temanggung.
Dua
tahun setelah lulus SMA, Didik bertekad untuk kuliah di ASTI. Berbekal uang
tabungannya, Didik berangkat ke Yogyakarta dan mendaftar di ASTI. Berkat Tari Manipuri,
tarian wanita yang diperagakannya dengan begitu cantik, Didik berhasil memikat
tim juri ASTI. Sehingga Didik diterima dan dinyatakan sebagai mahasiswa ASTI angkatan 1974.
Pribadinya
yang hangat, kocak dan santun tak menyulitkan Didik untuk mendapat teman.
Bersama teman-teman barunya, Didik menampilkan fragmen tari berjudul Ande-ande
Lumut. Didik berperan sebagai Mbok Rondo Dadapan, janda centil dari Desa
Dadapan. Penampilan Didik sangat memukau mahasiswa ASTI yang lain.
Menjadi
anak kost sangat sulit bagi Didik, karena tak mungkin mengharapkan
kiriman dari rumah. Ketrampilan 'perempuan' yang dulu diajarkan neneknya terasa
sangat berguna. Didik menerima pesanan membuat hiasan
bordir, juga menjual hasil kerajinannya, seperti syal dan taplak meja.
Beberapa
bulan setelah mulai kuliah, Didik menerima tawaran dari kakak angkatannya,
Bekti Budi Hastuti (Tutik) untuk membantu dalam fragmen tari Nini
Thowok bersama Sunaryo. Nini Thowok atau Nini Thowong adalah semacam permainan jailangkung
yang biasa dimainkan masyarakat Jawa tradisional. Pementasan ini sangat sukses.
Kesuksesannya membawa trio tersebut pentas diberbagai acara. Merekapun mengemas
pertunjukan mereka dengan konsep yang lebih matang. Saat Sunaryo mengundurkan
diri, posisinya digantikan Bambang Leksono Setyo Aji, teman sekos Didik. Mereka
lantas menyebut kelompok mereka sebagai Bengkel Nini Thowok. Dan di belakang
nama mereka melekat nama tambahan Nini Thowok (berarti: "nenek yang
menyeramkan"). Setelah itu, karier Didik Nini Thowok sebagai penari terus
berlanjut, bahkan Didik sering muncul di televisi.
Didik
terus mengembangkan kemampuan tarinya dengan berguru ke mana-mana. Didik berguru
langsung pada maestro tari Bali, I Gusti Gde Raka, di Gianyar. Ia juga mempelajari tari klasik Sunda
dari Endo Suanda; Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan yang
dipelajarinya dari tokoh besar Topeng Cirebon, Ibu Suji. Saat pergi ke Jepang,
Didik mempelajari tari klasik Noh (Hagoromo), di Spanyol, ia pun belajar tari Flamenco.
Karier
Setelah
menyelesaikan studinya dan berhak menyandang gelar Didik Hadiprayitno, SST
(Sarjana Seni Tari), Didik ditawari almamaternya, ASTI Yogyakarta untuk
mengabdi sebagai staff pengajar. Selain diangkat menjadi dosen di ASTI, ia juga
diminta jadi pengajar Tata Rias di Akademi Kesejahteraan Keluarga (AKK) Yogya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar